comments 14

Bali: When Enough Should Be Enough

“Saya tinggal 200m dari pantai Kuta. Saya ingat sebuah masa saat di malam hari saya hanya mendengar suara ombak yang sangat menenangkan di laut yang hening. Sekarang yang saya dengar adalah gerombolan turis mabuk yang berteriak f**k off! “ — Jering , musisi rock asal Bali

Gambar-gambar eksotis pulau Bali mulai menarik para pejalan nun di Eropa sana pada awal 1900an. Sebuah pulau kecil asing yang menggoda, dengan keseniannya yang indah, ritual yang misterius, dan penduduk santun yang tinggal di nirwana berpasir putihnya. Tahun 1969 saat bandar udara Ngurah Rai mulai dibuat, semakin banyak pejalan yang singgah di Bali melihat sawah-sawahnya yang berjajar rapi, merahnya matahari terbenam , atau khidmatnya perayaan Galungan.

Sekarang, hal-hal telah berubah.

Lonjakan turis dan modernisasi telah menggerus pulau nan elok ini. Turisme massal dan terpadu telah menggantikan turisme budaya yang dulu memashyurkannya. Setiap tahun di 700 hektar tanah dibangun hotel, restoran, dan perumahan baru. Jumlah kendaraan terus tumbuh tidak seimbang dengan daya tampung jalannya. Setiap hari 13,000 meter kubik sampah dihasilkan dengan hanya kurang dari setengahnya yang terdaur ulang. Konsumsi air dengan jumlah tak terkira pun menguras cadangan air Bali. Saat setiap penduduk lokal hanya mengkonsumsi 150 liter air perhari, turis di hotel-hotel menghabiskan 1500 liter per hari nya. Pengerusakan garis pantai terus meningkat dimana saat ini 437 km garis pantai pulau ini telah dalam keadaan rusak. Setiap tahun jutaan wisatawan lokal dan mancanegara menawarkan insentif ekonomi untuk Bali dengan mengorbankan lingkungan, budaya, dan masa depannya.

Turisme massal menempatkan pergerakan yang masif dan efisien dari para pengunjung di tempatnya yang teratas. Banyaknya pengunjung yang dijaring menjadi kepentingan yang mengalahkan kelestarian lingkungan, budaya, dan ekonomi lokal. Maka muncullah wajah murung Bali yang menjadi korban dari dirinya sendiri. Tumpukan sampah yang sungguh tak elok, macet dan polusi yang menghiasi wajah sehari-harinya, pedagang cinderamata di pasar lokal yang semakin sepi pengunjung terkalahkan oleh pusat-pusat cinderamata milik investor besar, sawah yang tak lagi terairi dan tergantikan bangunan hotel atau perumahan.

Dalam perjalanan ke utara Bali, seorang kerabat mengatakan ia telah menjual sebagian besar sawahnya yang telah kesulitan air. Harga tanah yang melambung tentu jauh lebih menggiurkan dari sawah yang tak lagi memberinya penghasilan cukup. Sungguh ironis karena sang kerabat dulu adalah ketua subak di desa asalnya di Tabanan, salah satu lumbung padi utama Bali. Pemerintah Bali mencoba mengerem pengerusakan dengan moratorium pembangunan hotel tahun 2011 lalu namun tidak kuasa menjalankannya secara konsisten. Masih banyak bermunculan hotel-hotel baru di wilayah selatan Bali yang semakin sesak termasuk hotel Mulia yang megah dengan 700 kamarnya di Nusa dua. Pemerintah Bali sendiripun masih kerap mengingkari komitmennya menjaga lingkungan termasuk dengan keluarnya ijin pengelolaan 100 hektar hutan mangrove Tahura oleh investor terlepas dari gelombang tentangan dari masyarakat sipil yang khawatir akan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya.

Selain pengerusakan lingkungan dan kegiatan perekonomian yang lebih menguntungkan investor besar, turisme massal juga mengancam budaya Bali. Turisme massal membuat segala kegiatan disesuaikan dengan kebutuhan para pengunjung. Maka kita akan bisa melihat tarian sakral Barong yang kehilangan ruh nya karena harus tampil setiap hari memenuhi permintaan paket-paket tur. Jika dulu pengunjung harus pergi ke desa-desa menyaksikan pertunjukan tari pendet sekaligus berinteraksi dengan masyarakat lokal maka kini mereka bisa menyaksikannya setiap hari di hotel-hotel berbintang tempatnya menginap. Tarian sakral yang disesuaikan sedemikian rupa guna memenuhi selera pengunjung. Saat kemudahan pengunjung di tempatkan di tempat teratas maka rasa hormat terhadap budaya lokal pun akan perlahan berkurang. Kuta adalah simbol terdepan dari hilangnya penghargaan kepada nilai luhur Bali yang santun dan menjunjung rasa hormat. Jalanan Kuta yang selalu dipenuhi turis mabuk bertelanjang dada dan berteriak-teriak tak senonoh dan merasa bisa melakukan apapun semaunya. Atau sekelompok pejalan, lokal maupun mancanegara, yang dengan bangga mengenakan t-shirt bertuliskan, “I shit fat people”, atau “You’re fat but I’ll f**k you anyway”, yang menyampah dimana-mana, dan tetap disembah-sembah oleh pedagang pinggir jalan yang menggantungkan hidupnya pada uang dari manusia-manusia yang tak menaruh hormat ini.

Saya, seperti juga banyak pejalan lain, bukanlah seorang budayawan atau ahli manajemen pariwisata. Tapi tentu kita bisa melihat dengan mata awam bahwa ada sesuatu yang salah dengan bagaimana perilaku pariwisata di Bali dikembangkan. Sebagai sesama pejalan saya percaya kita memiliki tanggung jawab untuk memperhatikannya. Saat sebagai individu kita tidak memiliki kekuatan untuk memperbaikinya kita bisa membantu dengan tidak menjadi bagian dari masalah. Kita bisa membantu dengan berkunjung ke Bali dengan perilaku yang ramah terhadap keberlanjutan alam dan kelokalannya. Mengurangi sampah, menghemat penggunaan air, membeli cinderamata dari pedagang-pedagang di pasar tradisional, mencoba menyeimbangkan keuntungan ekonomi diluar Bali selatan, dan banyak lagi. Gaya perjalanan seseorang tentu berbeda dan itu sah-sah saja, beberapa gemar ke Bali hanya untuk menikmati hotel di wilayah selatan, minum tequila di Seminyak dan berdansa di pubnya. Ini pun tetap bisa dilakukan dengan bertanggung jawab, cari tahulah apakah hotel yang hendak ditinggali didirikan diatas tanah yang melanggar aturan jarak pantai dan bangunan atau dimiliki investor besar yang melanggar moratorium pembangunan hotel, atau oleh investor yang melakukan pembebasan lahannya dengan merugikan penduduk lokal. Dan dalam hari-hari di Bali ingatlah untuk mengurangi sampah dan konsumsi air.

Mempromosikan kegiatan berwisata di Bali yang ramah budaya dan lingkungan melalui media sosial dan sejenisnya juga bisa membantu. “It’s cool to travel responsibly” harus menjadi trend berikutnya dari trend jalan-jalan yang sekarang begitu menjamur. Para penggiat perjalanan bisa membantu dengan menginformasikan tips-tips menikmati Bali dengan cara yang ramah budaya dan lingkungan. Selera dan perilaku para pejalanlah yang banyak mempengaruhi rusaknya pariwisata Bali, maka selera dan perilaku para pejalan pulalah yang juga bisa membantu memperbaikinya. Kekuatan para pejalan terkadang memang begitu kuat, lihatlah tripadvisor yang bisa membuat restoran lokal yang tidak memiliki kekuatan pemasaran bisa mendapatkan pengunjung yang banyak sementara ulasan buruk para pejalan terhadap hotel terkenal dengan pelayanan buruk bisa begitu menghancurkannya. Masyarakat memiliki kekuatan yang bisa sangat besar dalam meluruskan hal-hal. Saatnya semua orang, para pejalan, masyarakat sipil, media, akademisi, masyarakat adat berkata kepada Bali, enough is enough, O my beautiful island, atau Bali akan menjalani takdir seperti sebuah kalimat tua di dunia para pejalan “no paradise has a future

Twosocks, Agustus 2013

14 Comments

  1. setuju. bulan lalu gw sempet ke bali sebentar, setelah hampir setahun gw gak ke bali. parah. banyak anak jalanan dan gepeng, sampah dimana-mana, gak cuma di pesisir pantai tapi juga di pinggir jalan, termasuk puing-puing bangunan. sedih gw liatnya ted. semoga Bali bisa segera memiliki pemimpin yang bertanggungjawab dan punya visi, supaya bali punya arah. biar gak lost.

    • dustysneakers

      Iya ted, ini juga appeal untuk travelers, travel responsibly is the new cool

  2. ketika ke bali saya nyeletuk, apa bedanya dengan jakarta atau bogor, ini sih sama aja…
    masih banyak PR yang harus dikerjakan
    ulasan yang menarik! thanks ya

  3. Lisa

    Ulasan menarik , bule.. itu foto pantai mana (yang di bawah itu yang banyak sampah?) Kuta-kah?

    • dustysneakers

      Hi Lisa, iya itu di Kuta. Kalau ndak salah di sekitar awal tahun ini, waktu sampah sedang banyak2nya termasuk kiriman dari laut.

  4. Anonymous

    Nice Article, anda benar Bli, saat ini Bali lebih butuh support pada masyarakat lokal dibading investor besar.

  5. Oh My God! Itu fotonya beneran ya, Ted? miris banget siyh? gue terakhir ke Bali pas SMP, gk ngebayangin kalau sekarang bisa separah itu yak?! ijin share ya, Ted!

    • dustysneakers

      Halo Halim! iya itu di sekitar awal tahun ini, saat sampah sedang sangat banyak. Silahkan dishare. Travel responsibly is the new cool.

  6. dustysneakers

    😦 Baru tau tuh soal kisah kutukan desa kedisan itu.Seram sekali.
    Btw, senang baca postnya, ayo orang2 dibujuk utk ga ngetem di potatohead melulu dan sedikit olahraga hehe oh dan suka juga dg ‘jalan tengah’ soal resort hopping itu 😉 kami diam2 juga suka mengikuti blognya.

Leave a comment